Sabtu, 11 Agustus 2012

Tentang sang brutal

MENJELANG TENGAH MALAM DI AWAL BULAN JUNI

Jarum pendek jam dinding menunjukkan angka sebelas. Penghuni rumah, sepertinya sudah dipeluk mimpi. Kesibukkan pekerjaan di siang hari terkadang malah membuatku sulit untuk memejamkan mata walau untuk sekedar meraih mimpi dikala bisa terlelap. Setengah sadar aku berusaha mengingat, rasanya ada aktifitas lain yang aku lakukan di malam-malam seperti ini, tapi beberapa minggu ke belakang tidak lagi. Hatiku bergetar mengingatnya. Separuh hatiku seolah menuntunku untuk menuliskan ini........


MENJELANG MAGHRIB DI BULAN JULI

Kamu :"Aku mau sign out dulu, sudah dekat waktu maghrib? Nanti malam online lagiya?
Aku : "Aku juga mau pulang, iya, nanti malam jam 9 ya?"
Kamu : "Oke. Assalamu'alaikum"
Aku : "Wa'alaikum salaam,
Aku sign out dari messenger dan menutup semua aplikasi lain di laptop milik kantor. Aku bergegas pulang sebelum hari semakin malam. Aku tidak pernah menduga akhirnya aku harus menempuh jalan ini. Dulu, sama sekali tidak pernah terbayang di benakku susahnya menjalin hubungan jarak jauh. Apalagi jika harus menyandang "status palsu" seperti ini. Dibilang pacar, bukan. Dibilang bukan pacar tapi mesra. Merasa punya pacar tapi tidak ada di sisi. Apalagi tidak ada kata resmi yang menyatakan bahwa kita menjadi sepasang kekasih. Walau tentu saja kita merasakan hubungan yang lebih dari sekedar teman biasa. Dan pola komunikasi khta sejauh ini, semuanya nyambung, nyaman dan mengalir.



JANGAN BELI KUCING DALAM KARUNG

Berkenalan lewat internet, chatting, dan mengirim pesan singkat, dan suatu saat memutuskan untuk menikah, begitukah yang diharapkan ke depannya? Dua anak manusia berhubungan hanya lewat internet, terpisah ribuan kilometer jauhnya, tanpa pernah bertemu sekalipun? Mana mungkin! Bagaimana mungkin aku bisa menerima begitu saja seseorang yang tidak aku ketahui latar belakang dan kepribadiannya? Aku saja masih ragu. Bagiku, dia begitu jauh untuk diraih. Terlebih belum pernah sekalipun bertemu di dunia nyata. Begitu banyak kebohongan di dunia ini. Dan mungkin saja dia juga sedang membohongiku? Entahlah! Tidak sedikit kisah anak manusia yang berakhir bahagia menemukan belahan jiwanya di internet. Tapi banyak juga yang tertipu. Menjalani sebuah hubungan jarak jauh tentu bukan perkara mudah. Butuh pemahaman lebih. Saat menjalin hubungan jarak dekat saja, terkadang tanpa sadar aku banyak menuntut "Apa sih susahnya memberi perhatian sedikit berlebih?". Apalagi jika harus berjauhan. Tak ada jalan berdua, tak ada pegangan, apalagi kissing". "Oh Tuhan, aku ingin dia disampingku sekarang!"Tentu saja aku tersiksa menangung rindu, tersiksa diamuk perpisahan tiada akhir dan merasa hopeless karena tak kunjung bisa bertemu. Kerinduan! Duh, bagaimana kalau rindu? Sepertinya akupun mulai merasakan sebersit rasa itu. Saat berjauhan dengan seseorang untuk mendulang impian di negeri yang jauhnya beribu-ribu kilometer. Bukan! Tidak hanya kerinduan, kekhawatiran pun kerap menghantui. Aku memang merasa lebih sreg mendengar langsung suaranya ketimbang chatting atau pesan singkat. Aku jadi lebih bisa menyampaikan maksud dengan jelas. Mendeteksi perubahan emosi dari perbedaan tekanan suara dan juga mendapat tanggapan lebih cepat. Jika hanya chatting atau pesan pendek, manusiawi jika kemungkinan salah paham karena penulisan pesan dan pesan yang dibuat terasa pendek. Namun, hal ini terkadang bisa memancing friksi, kadang ingin curhat, tapi dia sedang lelah dan tanggapannya yang kurang memuaskan, aku artikan sebagai bentuk ketidakpedulian. Maka, selain tangis rindu, kadang ada pula tangis sedih karena merasa dicuekin atau menyesali kata-kata kurang bersahabat yang sempat tercetus. Bisa dikatakan, jarak yang jauh bisa membuat kita menjadi lebih sentimentil dan sensitif. Pilihan koneksi internet yang masih relatif lambat dan sinyal provider di handphone yang hilang timbul bisa menjadi kendala. Lalu jika salah satu dari kita seharian tidak online, yang lain menjadi "blingsatan" dan menjadi paranoid sendiri, khawatir telah terjadi sesuatu yang buruk.



MENJELANG TENGAH MALAM DI BULAN AGUSTUS

Aku : Aku off dulu ya, besok sudah harus kerja lagi. Besok kita lanjutkan lagi.
Kamu : Oke. Aku juga besok harus berangkat kerja pagi-pagi sekali.
Aku : Makasih ya, assalammu'alaikum
Kamu : Wa'alaikum salaam
Aku sign out dari messenger yang kunyalakan di telepon genggamku. Aku segera menutup mataku. Aku sudah sangat lelah, begitu jua mataku karena sudah terlalu lama menatap layar handphone dan jemari tanganku terasa kebas sepanjang malam itu tiada henti memencet keypad handphone.



ONLINE UNTUK CHATTING TIAP MALAM

Itu adalah jawaban yang serta merta muncul di kepalaku saat ada pertanyaan tentang hal apa yangh aku nanti-nantikan setiap harinya. Bagaimana tidak? Inikah cinta? Ketika cinta harus terpisah oleh pulau dan samudera. Ketika juga harus berjarak oleh perbedaan waktu, berharap kondisi ini bisa mengajarkan sekaligus menguji kesetiaan, kesucian, kepercayaan, juga kepasrahan diri yang digabung menjadi sebuah kekuatan membentuk cinta yang solid. Berharap, bukan nafsu yang dikejar! Cinta dan kasih sayang pasangan dan kekasih akan menjadi agung ketika ia bertaut dengan cinta kepada-Nya.



SAMPAI KAPAN ?

Tiba-tiba aku tersadar, wa iyyaka nasta'iin...."hanya kepada Allah, kami minta pertolongan". Mengapa selama ini aku musti panik dan khawatir? Mengapa aku mesti mengkhawatirkan dengan apa-apa yang belum bisa dipastikan seutuhnya akan menjadi milikku? Semestinya aku tidak perlu bersusah hati. Mestinya aku meminta pada-Nya untuk menolongku. Sebuah pikiran baru merubah otakku, menguatkan hatiku. Yang perlu kulakukan adalah berserah diri sepenuhnya, sisanya....serahkan semua urusan kepada Allah SWT. Ach, memang cukuplah Allah sebagai penolong, hasbunalllah wanikmal wakil....Ia tidak sekalipun pernah lalai dan tidur. Akhirnya, aku memahami bahwa,

"kebersamaan bersama orang yang kita kasihi adalah salah satu harta yang sangat berharga lebih dari segalanya yang ada di dunia ini. Orang bijak bilang, bahwa kunci penting dalam berhubungan jarak jauh adalah komunikasi, selain kejujuran dan saling percaya tentunya".

Jarum jam telah menunjukkan ke angka dua. Tubuhku seperti terlepas dari kontrol otakku, menuntut untuk diistirahatkan. Sudah saatnya aku harus tidur! "Semua pengorbanan ini bukan untuk sebuah kesia-siaan"